Fakta Dibalik Akuisisi Facebook WhatsApp Senilai Rp 223 Triliun

162

Jika ditelusuri, ternyata di depan gedung yang sekarang tidak terpakai tersebut, imigran yang hijrah ke AS dari negeri komunis Uni Soviet dengan “modal dengkul”, Jan Koum, dulu mengantre untuk mendapatkan food stamp, kupon makanan yang dibagikan pemerintah AS untuk orang kurang mampu.

Uniknya, bersama raksasa jejaring sosial Facebook, Koum dan kawan-kawan sambil berdiri menandatangani perjanjian jual beli senilai 19 miliar dollar AS atau sekitar Rp 223 triliun.

Dari seseorang yang sempat hidup sebatang kara, WhatsApp telah mengubah hidup Koum menjadi miliarder. Menurut Forbes, nilai kekayaan Koum yang memiliki 45 persen saham WhatsApp, kini mencapai kisaran 6,8 miliar dollar AS.

Dengan jumlah pengguna aktif bulanan mencapai 450 juta, WhatsApp sendiri telah tumbuh menjadi raksasa layanan pesan instan. Menurut Wired, setiap harinya server layanan ini mengirim lebih dari 18 miliar pesan, hampir setara dengan volume harian SMS sebesar 19,5 miliar.

Tentu Anda bertanya apa yang menjadi rahasia kesuksesan WhatsApp. Sejak dulu Koum dan Acton selalu konsisten menjaga layanan perusahaan yang hanya memiliki 50 orang karyawan itu agar tetap sederhana dan berfokus pada pengiriman pesan serta bebas iklan. 

Mereka tidak memandang iklan sebagai sumber pemasukan besar, melainkan dianggap mengganggu arah perusahaan dan kenyamanan pengguna. Tahun lalu, pemasukan WhatsApp hanya menyentuh angka 20 juta dollar AS. Namun, Koum dan Acton sudah cukup puas dengan pemasukan dari biaya langganan pengguna, meskipun angka tersebut terbilang sangat kecil untuk layanan sebesar WhatsApp.

WhatsApp yang dikenal sebagai layanan pesan instan yang sederhana, tercermin dari secarik kertas di ruang kantor Koum, berisikan semboyan singkat yang ditulis oleh Acton: “Tanpa Iklan! Tanpa Permainan! Tanpa Gimmick!”. Diketahui juga, tergeletak disampingnya sepasang walkie-talkie yang dipakai Koum untuk mencari tahu cara menyederhanakan pesan instan berbasis suara. Demikian kabar yang dilansir Kompas.

Redaksi