Movie Spotlight membahas mengenai film lokal yang sedang ramai diperbincangkan di perfilman Indonesia, Kartini. Para pemain dan sutradara film ini memberikan monolog berisikan opininya terhadap film ini.
Berikut adalah monolog dari Hanung Bramantyo, Dian Sastrowardoyo dan Christine Hakim.
Hanung Bramantyo as Director:
Kartini bukan nama yang asing buat kita, buat saya terutama, karena saya dari Jawa. Tapi nama Kartini tidak hanya terpatok pada Jawa saja, tapi bisa lebih dari itu. Karena tiap tahun kita harus merayakan ulang tahunnya. Namun, saya merasa ada yang mengganjal di hati. Kenapa? Kenapa saya harus merayakan sebuah ulang tahun untuk seorang anak bangsawan? Seorang putri bupati yang mana hidupnya menurut saya pada saat itu, hidupnya sudah enak.
Putri bupati, seorang bangsawan, minta apa saja pasti dikasih, sementara banyak sekali tokoh yang bukan bangsawan yang bisa lebih proper untuk dijadikan hari besar, Cut Nyak Dien misalnya, Laksamana Marta Tiahahu, ada banyak, tapi ini enggak.
Saya harus merayakan ulang tahun putri bangsawan. Saya mencoba untuk menafsirkan dan mendalami itu setelah pasca keruntuhan orde baru yang sifatnya sangat reprasif, menutup jalur sejarah alternatif.
Buku-buku yang muncul pada masa orde baru sangat sedikit dan harus disortir pemerintah. Setelah muncul era baru pada masa reformasi, kemudian muncullah buku-buku yang tadinya dilarang pemerintah, penulis yang dulunya dilarang, salah satunya Pram. Saya menemukan buku yang ditulis Pram berjudul, “Panggil Aku Kartini Saja“. Judulnya menarik, karena judul itu diambil dari suratnya Kartini, dan disitu tertulis ada gugatan.
Dia tidak mau dipanggil Raden Ayu atau Raden Ajeng, “Panggil aku Kartini saja,” tanpa embel embel yang lain. Dari situlah saya mendalami lagi tulisan dan surat-surat itu, dan Kartini memang menolak konsep bangsawan dan konsep Raden Ayu.
Ternyata konsep bangsawan yang ada pada dirinya itu merupakan konsep penjara untuknya. Di usia 4 tahun Kartini harus terpisah tidur dengan ibunya karena ibunya bukan keturunan bangsawan. Karena itu, saya pribadi akan memperkenalkan sosok pahlawan wanita Indonesia, lewat film “Kartini”.
Dian Sastrowardoyo, as Kartini:
Memerankan Kartini itu tidak mudah, persiapan yang diakukan cukup banyak karena beban kerjanya berlapis-lapis. Mulai dari script, materi di script itu emosi yang harus disampaikan naik turun. Jadi dari segi penyampaian emosi saja, saya mengumpulkan banyak emosi yang terkait dengan emosi Kartini, saya banyak men-download video Malala Yousafzai, yang kebetulan cerita hidupnya sangat menginspirasi dan juga sangat berkenaan dengan pendidikan.
Itu menjadi salah satu bahan bakar emosi saya. Diluar itu saya juga mengerti saat kita memerankan sesuatu, kita harus masuk ke pola pikir karakter itu sendiri. Seperti yang kita tahu, Kartini itu bacaannya banyak sekali. Tulisan yang beliau buat juga banyak, jadi akhirnya waktu itu salah satu to do list saya adalah membaca semua tulisan yang ditulis oleh Raden Ajeng Kartini dan juga membaca bacaan bacaan yang dibaca oleh Raden Ajeng Kartini.
Setelah saya pelajari segala perjuangan yang dilakukan oleh Kartini, ternyata semua perjuangannya ia lakukan ketika dia masih ABG, dan semua perjuangan dia berakhir sebelum menjadi seorang ibu. Film ini sangat enerjik dan sangat muda rasanya. Pesan yang saya dapat dari film ini adalah untuk bermimpi saja, terkadang kita butuh keberanian. Kartini menggambarkan mimpinya dengan sangat tinggi dan detail, dan menurut saya tidak semua orang dapat menggambarkan mimpinya setinggi dan sedetail itu.
Christine Hakim, as M. A. Ngasirah:
Ngasirah adalah ibu kandung Kartini. Beliau adalah perempuan bukan dari kalangan ningrat, anak seorang Kyai pendiri pesantren di kota Jepara. Beliau secara ilmu pendidikan tidak penah mengemanyam karena bukan ningrat, akan tetapi ilmu kehidupan sebagai anak seorang kyai beliau pahami dan kuasai.
Kemudian saya mendalami Ngasirah dengan mendalami tokoh Kartini itu sendiri, karena Ngasirah tidak muncul banyak dalam catatan sejarah. Salah satu surat Kartini yang menceritakan bahwa peran ibunya sangat besar sekali dalam membentuk Kartini seperti yang kita kenal. Itu semakin memperkuat bahwa Ngasirah sebagai seorang perempuan biasa tapi mempunyai kepribadian kuat dan wawasan serta pandangan hidup yang dalam.
Sehingga itulah yang membuat Sosroningrat terpikat. Dengan penguasaan ilmu kehidupan yang kuat ini dan karena ayahnya yang seorang kyai, sehingga keikhlasan menjadi pegangan hidup dari Ngasirah dalam menerima skenario Tuhan kepada Ngasirah.
Brava Listeners, terus dengarkan Brava Radio di 103.8 FM atau bisa melalui streaming di sini.
[teks Nada Inditya Lifa | foto sidomi.com]
Baca juga:
Kolaborasi Porsche dan Microsoft meluncurkan eSports
CR7 Chapter 4: sepatu terbaru Cristiano Ronaldo
Penggunaan botol air mineral kemasan berbahaya bagi tubuh?
- Harper’s Bazaar Indonesia Asia NewGen Fashion Award (ANFA) kembali hadir di tahun 2024! - Mar 7, 2024
- Farah Tubagus - Dec 22, 2023
- Joshua Nafi - Dec 22, 2023