Seperti yang dilansir dari Kompas.com, dalam riset yang dilakukan, para ilmuwan memilih 82 jenis dari 33 tipe jamur yang tumbuh di barat daya Siberia. Hasilnya, jamur Chaga menunjukkan spektrum paling luas sebagai antiviral.
Diketahui, jamur ini juga menunjukkan efek toksik yang sangat rendah. Hasil inilah yang menyebabkan jamur Chaga juga berpotensi dikembangkan sebagai obat untuk cacar dan influenza.
Daerah seputaran Siberia diketahui sudah lama mengenal jamur Chaga. Walaupun tidak terdengar di media, ilmuwan Vector mengatakan, jamur Chaga sudah lama digunakan sebagai pengobatan tradisional dan dibicarakan sebagai penangkal virus (antivirus). Saat ini para ilmuwan berani mengatakan, omongan tersebut bukan sekadar kabar burung, tetapi benar adanya.
Jamur Chaga (Inonotus obliquus), dalam keseharian tumbuh pada cabang pohon birch. Jamur ini memiliki konsentrasi asam betulinik yang tinggi. Asam ini memiliki efek antiretroviral, anti-inflamasi, dan baru-baru ini juga diketahui merupakan agen anti kanker.
Ilmuwan Vector menyebut jamur ini menjanjikan perkembangan untuk pengobatan penyakit lainnya. Riset yang dilakukan, menurut peneliti dari Vector, merupakan perkembangan dari fungsi jamur sebagai antitumor dan perangsang daya tahan tubuh. Dalam studinya peneliti menemukan, jamur efektif melindungi sel DNA dari radikal bebas. Radikal inilah yang kemudian merusak membran sel.
Meskipun demikian, temuan ini mendapat tentangan di dunia barat. Memorial Sloan-Kettering Cancer Center, New York, dalam situsnya mengungkapkan bahwa tidak ada uji klinis yang menilai keamanan dan kemanjuran Chaga, sebagai pencegahan penyakit atau pengobatan kanker.
- Harper’s Bazaar Indonesia Asia NewGen Fashion Award (ANFA) kembali hadir di tahun 2024! - Mar 7, 2024
- Farah Tubagus - Dec 22, 2023
- Joshua Nafi - Dec 22, 2023