The Captain : John S. Karamoy, Praktisi Senior Industri Migas Indonesia

596

Selama satu jam pria kelahiran 5 Oktober 1936 di Manado, Sulawesi Utara ini berbagi kisahnya dalam pengembangan minyak dan gas nasional. Pada kesempatan itu, John menceritakan tentang pengalamannya ketika dari awal ia meniti karir hanya sebagai pekerja magang di Stanvac, perusahaan minyak milik Belanda pada tahun 1955, untuk mengisi waktu luang sebelum melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi, hingga 56 tahun, menjadi seorang praktisi senior seperti sekarang ini.

Bagi John, indutri minyak sudah menjadi bagian hidup pria yang berperan membesarkan Medco hingga pensiun ketika menjabat sebagai salah satu petinggi perusahaan migas yang lahir dari putra bangsa ini. Meskipun awalnya mengaku kebetulan terjun ke dunia industri migas, akan tetapi beliau akhirnya sadar bahwa industri ini merupakan salah satu komoditi strategis bagi pertumbuhan ekonomi.

Selain membicarakan karirnya, pria yang memiliki keingingan untuk mendirikan Medco kedua ini, juga mengutarakan pendapatnya mengenai cadangan minyak Indonesia yang seharusnya bisa lebih besar. Ia menjelaskan bahwa faktor selalu kurangnya cadangan migas Indonesia disebabkan oleh ketidaktertarikan berbagai pihak terkait untuk mengeksplorasi lagi sumber yang belum ditemukan ataupun yang dapat diperbaharui.

Ketika ditanyakan pendapatnya tentang isu terkini yakni kebijakan penaikan harga BBM bersubsidi, John menjelaskan bahwa ia setuju dengan kebijakan tersebut guna mengurangi tekanan terhadap APBN, akan tetapi seharusnya pemerintah menaikannya secara bertahap. Dengan demikian, masyarakat yang memang masih membutuhkan subsidi tidak terlalu terbebani dengan kenaikan BBM sekaligus harga sembako yang tiba-tiba.

John pun sempat membahas tentang tantangan terbesar industri migas Indonesia, menurutnya berasal dari beberapa faktor, diantaranya karena berkurangnya sumber daya, infrastruktur yang kurang memadai, dan ketidakpastian hukum. Akan tetapi dari semua hal tersebut tantangan industri migas terutama berasal dari penurunan produksi yang disebabkan ketiadaan eksplorasi atau tingkat eksplorasinya masih rendah. Dengan tingkat penemuan yang rendah secara otomatis tidak dapat menutup keperluan migas dalam negeri.

Pria yang memiliki ungkapan andalan “kita juga bisa” ini menjelaskan bahwa Indonesia yang awalnya merupakan salah satu negara pengekspor minyak, pada tahun 2003 meskipun dapat menghasilkan 1,2 juta barrel perhari, negara ini juga membutuhkan minyak dengan jumlah yang sama perharinya. Sehingga menurut John, Indonesia disebut sebagai negara nett importer, dan seharusnya keluar dari OPEC karena tidak lagi menjadi negara pengekspor minyak.

John juga menjelaskan bahwa sumber daya gas alam memang banyak ditemukan di Indonesia, misalnya seperti yang ditemukan di Pulau Natuna sebesar 42 triliun kubik. Akan tetapi menurut John, idealnya sumber gas alam itu terletak dekat dengan penggunanya, yaitu di Pulau Jawa, bukan didaerah frontier. Selain itu, seharusnya gas alam juga dapat menjadi salah satu penghasil devisa bagi negara dengan cara diekspor. John pun kembali menekankan bahwa hal tersebut kembali terkendala dengan masalah eksplorasi.

Menurut pria yang memiliki pola kepemimpinan merangkul dan menginspirasi ini, pemerintah seharusnya dapat membuat aturan main yang lebih jelas untuk pengembangan berbagai sektor eksplorasi migas maupun sumber daya yang dapat diperbaharui, seperti panas bumi dan batubara. Akan tetapi pada kenyataannya selain terkendala aturan main dan ketentuan harga, pengembangan industri sumber daya yang dapat diperbaharui, juga kembali terhalang masalah birokrasi di Indonesia yang bagi John belum ada kepastian hukumnya.

Seperti biasa dalam The Captain, John yang pernah menjadi orang Indonesia termuda yang memimpin perusahaan minyak asing ini, mengungkapkan bahwa bisnis adalah vision-mision, value, & culture.

Dengarkan selalu program The Captain setiap hari Kamis, jam 09.00-10.00 WIB di Good Day Jakarta hanya di 103.8 FM Brava Radio.

Redaksi