Shamsi Ali: Islam bukan agama yang kaku dan tidak bersahabat

145

Dalam The Captain bersama Fika Rosemary, berbincang – bincang berkesempatan untuk diskusi bersama Imam Besar dari Masjid New York, Shamsi Ali. Pria kelahiran Bulukamba yang sudah tinggal selama 21 tahun di Amerika, telah merasakan asam garam kehidupan di sana.

Q : Apakah benar dengan anggapan bahwa Donald Trump adalah anti muslim?

A : Mungkin memang yang disoroti atas beberapa sikap dan kebijakan terhadap komunitas minoritas. Dimana orang putih di Amerika itu sudah termarjinalkan sedikit dengan yang non putih. Ada yang meyakini tema kampanye dari Trump “Make America Great Again,” maksudnya adalah “Make America White Again.” Kasar rasanya jika saya menggunakan kata-kata ini, tapi memang kenyataannya banyak teman-teman yang mengatakan bahwa Trump adalah orang yang rasis.

Q : Apakah komunitas muslim di Amerika masih bisa beraktivitas?

A : Alhamdulillah masih bisa, dan itu adalah suatu kebanggaan tersendiri bagi umat muslim di Amerika. Sebuah negara itu tidak bisa dilihat secara individual saja ya. Tapi berdasarkan konstitusinya. Amerika ini memiliki konstitusi demokrasi yang sangat kuat. Kebebasan sangat dijamin. Saya yakin bahwa Trump tidak akan melarang orang datang ke Amerika berdasarkan agama, ras, ataupun kulitnya. Karena itu bertentangan dengan konstitusi dasar.

Q : Sebagai Imam Besar dari Masjid New York, seberapa sering Anda pulang ke Indonesia?

A : 2 tahun sekali sepertinya. Karena tugas di sana sangat banyak, untuk mendapatkan waktu pulang ya cukup sulit. Di sana juga saya sedang mendirikan Nusantara Foundation. Sebuah organisasi yang base-nya di Amerika. Pengurusnya juga dari berbagai negara. Alasan saya menggunakan kata Nusantara ini karena mohon maaf, Indonesia belum cukup dikenal di Amerika.

Q : Bagaimana Anda melihat kondisi Indonesia saat ini, setelah merebaknya isu perpecahan antar golongan yang mulai tumbuh sejak Pilkada di Jakarta?

A : Memang terlalu banyak pengaruh-pengaruh dari luar. Termasuk di dalamnya ada pemaham-pemaham agama yang belum tentu sesuai dengan ajaran agama itu sendiri. Kita, bangsa Indonesia, memiliki karakter tersendiri. Bersahabat, gotong royong, ramah. Inilah yang seharusnya mendasari landasan kita untuk beragama.

Karena memang darah daging kita ya seperti itu. Bila memang ada perbedaan pilihan, bukan seharusnya kita untuk membenci, apalagi saling caci. Yang menang mari kita bantu untuk mewujudkan visi dan misinya. Untuk yang kalah, mari kita kuatkan hatinya, karena ini hanya amanat sesaat.

Q : Bagaimana kondisi komunitas Indonesia, khususnya yang muslim di Amerika?

A : Baik-baik saja. Hanya saja, secara kuantitas kita ini termasuk minoritas. Karena memang sedikit sekali jika dibandingkan dengan Banglades dan lain-lain. Persepsi yang sudah berkembang sejak dulu itu kan seorang muslim ‘berbentuk’ seperti Arab ya. Jadi yang seringkali mendapat pahitnya “Islamophobia” itu ya yang dari timur tengah. Jadi itu merupakan sebuah keuntungan bagi kita orang Indonesia.

Q : Anda cukup mengenal tokoh-tokoh besar di Amerika, dan tidak hanya dari komunitas Islam saja. Apa tujuan Anda sebenarnya?

A : Ada stigma yang berkembang, bahwa Islam itu kaku dan tidak bersahabat. Sehingga saya ingin membalik stigma tersebut dengan tindakan. Saya tunjukkan dengan aksi nyata. Seperti berinteraksi dengan mereka, juga bekerja sama. Saya malah dikenal dengan sebutan imam yang tidak lazim di sana. Karena saya lebih sering terlihat bergaul dengan orang-orang selain muslim di Amerika.

Brava Listeners, terus dengarkan Brava Radio di 103.8 FM atau bisa melalui streaming di sini.

[teks Adhi Satria | foto dok. Brava Radio]

Baca juga:
Ryan Adrian: Kami berkontribusi untuk membantu pemerintah
Ferrari F40 menurut pandangan para penciptanya
Minuman ini dapat mendongkrak metabolisme Anda

Redaksi