BI Perkirakan Ekonomi Indonesia 2014

23

“Pertumbuhan ekonomi 2014 diperkirakan akan mencapai 5,5 hingga 5,9 persen,” ungkap Gubernur Bank Indonesia (BI), Agus Martowardojo di Jakarta, Kamis malam (20/3/2014).

Pertumbuhan ekonomi yang didukung dengan sisi penawaran atau produksi yang memadai dan ketersediaan infrastruktur, menurut Agus akan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.

Namun, jika penawaran atau produksi rendah padahal permintaan tinggi maka akan memperbesar defisit neraca transaksi berjalan. “Kondisi akan lebih parah jika infrastruktur fisik tidak memadai. Ini akan menimbulkan ketidakpercayaan dan mendorong terjadinya outflow capital seperti tahun 1998,” jelas Agus.

Agus juga mengungkapkan bahwa BI menempuh bauran kebijakan selama 2013, yaitu menaikkan BI Rate 175 basis poin, memperkuat operasi moneter, melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah, memperkuat kebijakan makroprudensial, memperkuat koordinai dengan pemerintah dan memperkuat kerja sama antarbank sentral.

Dengan berbagai kebijakan yang akan ditempuh, menurut dia, diharapkan inflasi pada 2014 dapat mencapai 4,5 plus minus satu persen, defisit neraca transaksi berjalan di bawah 3,0 persen dari PDB dan pertumbuhan kredit berkisar 15-17 persen.

Selain itu, Agus juga mengingatkan, masih ada sejumlah risiko yang harus diwaspadai meskipun prospek ekonomi ke depan membaik. Risiko tersebut antara lain adanya dampak Fed Exit Policy, pelambatan ekonomi China, kerapuhan pasar negara-negara berkembang, risiko utang luar negeri dan risiko fiskal.

“Meskipun tapering off The Fed sudah diprediksi oleh pasar dengan baik, namun risiko di pasar keuangan global masih akan terjadi,” ujarnya. Ia juga mengatakan akan terjadi kenaikan Fed Fund Rate yang akan berdampak pada perekonomian global, setelah tapering off selesai dilakukan.

Sedangkan Gubernur BI antara lain menyebutkan terkait dengan risiko fiskal, realisasi lifting atau produksi minyak yang masih di bawah asumsi. “Realisasi terkini hanya mencapai 798.000 barel per hari sementara asumsi dalam APBN 2014 sebesar 870.000 per barel. Ini akan menyebabkan impor minyak meningkat sehingga memperbesar defisit transaksi,” demikian jelas Agus Martowardojo seperti yang dilansir Antara.

Redaksi