Darwis Triadi dan cerita fotografinya

1057

Darwis Triadi
Apa yang dipelajari di Darwis Triadi School of Photography?
“Bagaimana bisa memotret dan mendapatkan sebuah esensi fotografi secara benar. Jadi nantinya fotografi bisa menjadi spirit dalam hidup kita. Banyak yang pensiunan, justru setelah ia belajar foto, punya spirit baru. Kan nggak perlu jadi fotografer, yang penting spirit-nya itu.”

“Nah, di sekolah saya guru kan banyak, 20 lah kurang lebih. Mereka, setiap kelas itu sekitar 10-16 kali pertemuan. Tapi selalu di 3 pertemuan terakhir itu sama saya. Pada saat ketemu di kelas, saya selalu bilang, ‘Ok selama kemarin dikasih teori disimpan saja dulu jangan dilihat. Sekarang kita bicara fotografi secara real, pandangan kita bukan hanya dari mata saja, coba pandang dari hati.’ Baru saya kasih unjuk, gini, gini gini.”

“Ternyata setelah bicara teknis, ternyata banyak yang non-teknisnya. Karena fotografi itu sebenarnya banyak kita belajar mengenai kesabaran, intropeksi, belajar bagaimana kita membahagiakan orang, dan satu lagi, fotografi itu harapan.”

“Contohnya sederhana, kita motret, kita punya harapan foto ini akan bagus kan. Berharap pula kalau kita kasih lihat yang difoto, dia senang. Dan kalau kita cetak dan kasih ke dia, ternyata dia lebih senang lagi. Harapan terakhirnya apa? Kita bisa melakukan yang lebih baik lagi nggak yang akan datang?”

“Jadi fotografi itu bukan terus kita ngomongin yang ini saja, begitu kita selesai motret, kita harus mikir lagi bisa lebih bagus lagi nggak? Jadi harapan dan harapan, makanya saya bilang belajar fotografi bukan melulu kita bisa motret, tapi kita punya spirit.”

Dalam mengajar mas Darwis tidak mengarahkan ke materi, dan ingin lebih memberikan hal lain, apakah itu?
“Karena untuk mencari materi nggak akan cukup-cukup. Tapi memang materi harus dicari, namun jangan dijadikan tujuan utama.”

“Karena begini ya, sebuah profesi itu kan sebuah pengabdian menurut saya. Kita dikasih gift sama Tuhan ‘ok loe bisa motret kaya gini’, kita harus abdikan itu, makanya kita selalu bilang, sama semua yang berprofesi apapun, loe harus mengabdi sama itu, karena kalau semua orientasinya hanya duit, waktu cepet, pas loe selesai, loe nyesel, loe nggak buat apa-apa, nggak tercatat tuh.”

Foto apa yang paling berkesan bagi seorang Darwis Triadi?
“Justru malah bukan motret model atau apa, tapi saya waktu itu motret di Papua. Itu tahun 2000 kalo nggak salah, pas waktu itu mereka ada musibah kelaparan. Kebetulan teman-teman pilot masih suka kumpul kan, jadi kita iuran, dan ada sponsor dari salah satu maskapai, dan kita diterbangkan ke sana.”

“Di situlah saya melihat, walaupun mereka kelaparan, tapi nggak serakah. Jadi kita beli ubi taruh di tempat, mereka ambil seadanya. Dan waktu itu, ada satu ibu yang lagi nyusuin. Saya foto anaknya nangis, terus saya tanya mengapa anaknya nangis, ‘dia mau nyusu tapi air susunya nggak ada’. Di situ saya foto, dapat tuh momen itu, itulah saya inget terus, karena saya tidak pernah bisa dapat foto itu lagi.”

“Itulah sebetulnya pada saat kita motret orang, kita harus berdialog. kita nggak suka dia ke sini, kita nggak bisa bilang ‘eh loe kalau ke sini jelek’, itu nggak boleh. Memotret orang itu, jangan sekali-kali keluar kata-kata nggak bagus, jangan! Harus bagus semua. Kenapa? Karena itu membesarkan hati, orang jadi percaya.”

“Justru pada saat orang bilang ini bagus, ‘oh iya, berarti track-nya udah benar nih, yang saya lakukan’, jadi tinggal dieksplor saja. Pada akhirnya, bicara fotografi itu lebih ke non-teknis.”

Redaksi