Balenciaga memadukan sejarah dan modernitas dengan sentuhan gastronomi di butik terbarunya, di Ginza, Tokyo.
Unit seluas 6.700 kaki persegi, akan dibuka untuk umum pada Sabtu (04/05) lalu, dan didesain dengan konsep Raw Architecture serta didominasi oleh beton dan baja sikat. Balenciaga mengibaratkan sifat bertumpuk butik tiga itu dengan garasi parkir, sejalan dengan pendekatan tajam dan kadang keras merek ini terhadap kemewahan.
Sebagai tandingan yang lebih lembut, merek tersebut akan menampilkan pameran sementara 13 busana langka oleh pendiri Cristóbal Balenciaga. Dengan judul “Dresses Beyond Tiime” dan disebut sebagai pameran pertama yang tampil di luar Paris, pameran ini menampilkan beberapa gaun di dalam kotak kaca, sedangkan pakaian yanh lebih rapuh ditampilkan rata dan ditopang dengan kertas tisu.
Gaun-gaun couture itu pernah menjadi milik orang-orang terkenal seperti Anne Moen Bullitt, seorang sosialita, filantropis, dan pembiak kuda dari Amerika Serikat; Duchess of Montesquiou-Fezensac; dan Marie-José Rico, putri seorang penyanyi terkenal di Opera Paris. Sebagai perpaduan antara masa lalu dan masa kini, merek ini berencana untuk menyajikan wagashi, camilan manis tradisional Jepang yang dibuat oleh Toraya—sebuah perusahaan yang didirikan di Kyoto pada awal abad ke-16—dengan logo Balenciaga modern sebagai bagian dari perayaan pembukaan.
Sebagai bentuk penghormatan lain terhadap tradisi Jepang, butik utama ini akan menjual koleksi mangkuk teh keramik dan vas dalam edisi terbatas. Barang-barang yang dibuat secara manual ini dikerjakan oleh Ginza Kuroda Touen, sebuah galeri seni Jepang yang didirikan pada tahun 1935, yang mengkhususkan diri pada keramik modern dan kontemporer serta barang antik.
Toko ini menampung semua merek terbaru busana dan aksesori untuk pria dan juga wanita, bersama dengan Balenciaga Ginza eksklusif, termasuk sepatu kets, tas Le City, dan kaos oblong yang dihiasi dengan Menara Tokyo yang ikonik, yang struktur jaringannya menyerupai Menara Eiffel di Paris.
Balenciaga mengoperasikan 37 toko di Jepang, yang telah menjadi titik terang bagi sebagian besar merek mewah Eropa, dengan pertumbuhannya di sana melampaui wilayah lain di tengah normalisasi permintaan di pasar lainnya.
Luca Solca, kepala sektor barang mewah global di Bernstein, mengidentifikasi dua faktor yang berperan dalam pertumbuhan pesat Jepang baru-baru ini.
“Seperti banyak negara yang baru keluar dari masa pandemi COVID-19, Jepang mengalami momen YOLO [you only live once] yang signifikan. Orang-orang disadarkan bahwa hidup itu sementara, sehingga meningkatkan keinginan mereka untuk berbelanja,” jelasnya. Luca menambahkan, “Alasan kedua adalah yen Jepang yang sangat lemah, yang telah menarik banyak konsumen luar negeri, terutama dari China.”
Menurut perkiraan Bernstein, Jepang menyumbang sekitar 7 hingga 8 persen dari pasar sektor barang mewah global. Namun, keberhasilan ini mungkin tidak berlangsung lama. Solca menjelaskan bahwa banyak merek asing menaikkan harga dalam yen untuk menyamakan harga dengan negara-negara Asia lainnya, yang bisa mengurangi permintaan lokal. “Konsumen Jepang tidak mendapat keuntungan dari melemahnya yen, karena mereka menerima gaji dalam JPY, sehingga yang mereka lihat hanyalah harga yang lebih tinggi,” katanya.