Yuliandre Darwis: Pengevaluasian media-media terkini di Indonesia

316

The Captain pada (12/1) yang dibawakan oleh Ferdy Hasan, mendatangkan narasumber yaitu Yuliandre Darwis, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia.

Di segmen ini mereka membahas isu media terkini dan pengevaluasiannya.

Q: Di tahun baru 2017 ini, tentu ada tugas baru juga. Apa saja yang dievaluasi di tahun lalu, dan apa target KPI tahun ini?

A: Kurang lebih 4 bulan ini kami menangani Konstitusi. Hal dievaluasi di 2017 adalah UUD penyiaran. Hal ini menjadi prioritas untuk diubah. Apalagi untuk seputar masalah informasi teknologi digital.

Media baru yang sekarang berkembang, sedang ditentukan apakah menjadi tanggung jawab KPI atau tidak. Kalau KPI di Malaysia termasuk mengurusi multimedia, nah untuk di negara kita tergantung konstitusi kita.

Q: Media baru ini sangat banyak digunakan, tentu memengaruhi tanggung jawab KPI juga kah?

A: Banyak orang yang mengarahkan tanggung jawab pada kami, padahal belum tentu tugas kami. Semoga bisa semakin diperjelas.

Q: Banyak media yang perlu dievaluasi?

A: Sangat banyak media yang perlu dievaluasi. TV, radio. Di TV itu kan ada sinetron, reality show, variety show, dll. Program itu tidak mudah untuk main stop. Harus dievaluasi dulu satu persatu.

Q: Komunikasi ke TV atau radio untuk pengevaluasiannya bagaimana?

A: Ada aturan bahwa KPI perlu memaksimalkan mencabut izin industri. Tapi yang paling memiliki dosis tinggi adalah pencabutan program. Tahapnya itu, pertama kami memberi himbauan, kedua peringatan, lalu teguran.

Teguran itu masuk saksi administratif, tembus ke Presiden, Komisi Satu DPR, Kementerian Kominfo. Kemudian saksi itu macam-macam jangka waktunya, ada yang diskors 1 minggu, 1 atau 2 bulan, atau bahkan 1 tahun.

Ada juga misal stasiun tv yang biasa tayang 24 jam sehari, bisa dipotong menjadi 20 jam sehari.

Q: Yang sedang ramai dibahas sekarang adalah isu blurring. Bagaimana tanggapan Anda?

A: Yang harus dipahami, tugas KPI itu menganalisa tayangan setelah siaran itu ditayangkan. Ini yang banyak orang salah paham, seakan-akan KPI yang melakukan sensor tersebut. Yang melakukan sensor itu adalah Lembaga Sensor Perfilman. Bukan KPI.

Kami memberi edukasi bahwa broadcaster jangan mengekspoitasi bokong, paha, atau aurat dari wanita. Nah di bahasa eksploitasi membuat kesannya itu menjadi tidak boleh dlihat sama sekali.

Lembaga tersebut “nyari aman”, jadi sebaiknya disensor saja semua-semuanya. Nah yang disalahkan KPI. Ini menjadi tugas saya untuk mengedukasi kembali, yaitu pola instruksi dari kami.

Q: Kalau untuk media radio, apakah per orang monitoring-nya?

A: Untuk radio kita baru 50% secara teknologi. Itu pun bergiliran dan secara random. Lebih ke TV sebenarnya perhatian kami. Di maret nanti, rencananya KPI akan dipindahkan ke gedung baru, yaitu gedung KPK lama. Agar semakin fokus dan mudah monitoring-nya.

Redaksi