Yuliandre Darwis: Pengevaluasian media-media terkini di Indonesia

316

Di segmen ini mereka membahas latar belakang dari Yuliandre Darwis dan tantangannya dalam jabatannya sekarang.

Q: Sebelum usia 30 Anda sudah mendapat gelar doktor di bidang komunikasi. Bagaimana awalnya Anda tertarik bidang ini?

A: Saya lahir di Jakarta, namun almarhum ayah saya bawa pindah ke Padang. SD, SMP, SMA di Padang. Terus tes ujian kuliah, saya tidak lulus ITB, lalu keterima di Unpad. Awalnya itu diterima di Teknik Informatika, tapi beberapa saat kuliah, saya tidak kuat.

Pas masa kuliah itu, saya baru merasa komunikasi merasa di bidang saya. Jadilah saya kuliah pindah jurusan ke komunikasi. Aktif di kampus, lalu tamat 5 tahun. Abis itu dapat tawaran untuk beasiswa ke Australia dan Malaysia.

Karena yang Malay pengumumannya lebih cepat, saya ambil yang di Malaysia dan berangkat. Setelah itu saya ambil S3 juga di media studies. Cuma biasanya S3 kan juga harus jadi dosen juga. Jadilah saya seorang dosen. Dosen kan harus detail, saya agak susah ngaturnya. Tapi tetap dijalanin kok dan lancar semuanya.

Q: Jadi doktor di usia berapa?

A: Waktu itu kalau tidak salah mau 30 tahun.

Q: Katanya Anda pernah jadi loper koran?

A: Iya pernah. Jadi saya itu 4 bersaudara. Saya anak pertama, ibu saya pegawai negeri. Saya ngkos di Bandung cuma dikirimi 225 ribu per bullan. Biaya kos-nya saja sudah 150 ribu. Jadi saya kerja saja jadi tukang antar Koran.

Koranya itu koran Padang, saya antar korannya ke restoran-restoran Padang di Bandung. Istilahnya, ‘bawain berita dari kampung nih’. Penghasilannya lumayan, bisa 360 ribu per bulan.

Q: Masih sering ke Bandung kah?

A: Kalau ada event saja sih, kalau ada pasti saya ikut ke sana.

Q: Setelah 4 bulan menjabat sebagai Ketua KPI, apa yang dirasakan? Dan apa saja tantangannya?

A: Saya berpikir bahwa posisi saya ini harus diseriuskan, dalam artian sesuai dengan keinginan negara. Lalu harus disesuaikan dengan protokol dll, tidak bisa seenaknya. Karena menyangkut kolektif legial.

Banyak masyarakat yang turut memerhatikan siaran Indonesia. Banyak juga yang mem-bully, protes dan main hajar tanpa jelas. Paling berat rasanya untuk memperpanjang izin televisi.

Katakanlah ada 10 channel tv nasional. Masyarakat ingin 2 tv ditutup. Tapi kan kami tidak bisa main sembarang menututp siaran. Harus dilakukan dengan kebijakan rekomendasi kelayakan. Kami berusaha objektif, selalu mengaudit terlebih dahulu siaran agar tidak sembarang stop.

Brava Listeners, terus dengarkan Brava Radio di 103.8 FM atau bisa melalui streaming di sini. [teks Gabriella Sakareza]

Baca juga:
Uniknya bermain golf di Dubai
Mercedes-Benz menampilkan sosok Hypercar
Manchester United melirik pemain Inter Milan

Redaksi